Jumat, 20 November 2015

suasana pondok pesantren


Suasana Pondok Pesantren yang Selalu Dirindukan

Pondok pesantren terkadang menjadi momok yang menakutkan untuk anak-anak tertentu. Saya masih ingat sekali, waktu saya SD saya selalu di takut-takuti oleh kedua orang tua saya dengan ancaman akan di masukan ke Pesantren bila saya nakal. Spontan saya menjadi takut akan ancaman itu, karena kakak saya yang sudah pernah mencicipi kehidupan pondok pesantren sering bercerita tentang pengalaman-pengalamannya. Mulai dari harus mencuci baju sendiri, bangun pagi dengan sabetan sajadah, makan satu nampan berlima atau bahkan lebih, hingga harus dicukur gundul saat melanggar peraturan pondok.

Sekarang sudah 6 tahun saya lulus dari pondok pesantren Al-fattaah Demak. Tempat dimana dulu saya belajar. Belajar mengkaji ilmu agama, ilmu sosial dan ilmu lainnya. Sebulan pertama di Al-fattaah dulu memang sempat membuat saya memberontak kepada orang tua saya. Saat itu saya ingin sekali keluar dari penjara itu. Karena saya merasa terlalu banyak peraturan yang mengekang diri saya disana, selain itu saya juga merasa privasi saya tidak dihargai disana. Tapi kakak saya saat itu menganjurkan saya untuk bertahan lagi hingga genap satu semester. Dengan segala bujuk rayunya akhirnya saya mengalah dan menetapkan untuk mencoba nyantri meski cuma satu semester.
Satu semester pun berjalan begitu cepat. Saya yang dulu benci sekali dengan suasana pesantren mulai sadar bahwa adanya peraturan di pesantren itu untuk membentuk pribadi santri, sedangkan privasi dan individualisme saya yang tadinya terasa sangat tinggi, pelan-pelan mulai turun, karena dipesantren secara tidak langsung saya di ajarkan bagaimana bersosialisasi dengan orang-orang yang beragam sifat dan kepribadiaannya. Berlatih sabar, bahkan dilatih tirakat (prihatin) dahulu saat mengharapkan suatu yang menjadi angan dan citaku terkabul.
Suasana pesantren saat itu kini saya rindukan kembali. Teringat saat belajar bersama teman-teman dimushola kami yang reyot itu. Ya, belajar sambil berburu “Tinggi” (sejenis kutu pada kayu yang mengihap darah). Sungguh terasa sekali kebersamaannya. Saya juga teringat saat kami bersama-sama memanjat pohon kelapa milik pengasuh, bahkan salah satu teman kami tertimpa kelapa hingga pingsan. Suasana mencuci baju yang saya sangat benci ternyata menjadi sangat mengasikan, mencuci baju berjamaah tengah malam, dengan bermodalkan radio mini compo. Lelah mencucipun tidak terasa. Saya juga merindukan suara kawan-kawan yang saling bersahut-sahutan untuk menghafal kitab Alfiyah. Suara itu mampu merubah malam di komplek pesantren yang hening menjadi lantunan irama yang indah.

silahkan download disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar